Canta, Palma, Coro… Energia, força, e sentimento

Canta, Palma, Coro… Energia, força, e sentimento Lama absen menulis soal capoeira, bukan karena labil atau luntur cinta saya pada yang satu ini. Tapi memang lama absen karena suatu hal, dan karena sudah memutuskan untuk kembali lagi ke dalam roda, maka saya mulai lagi sebuah tulisan sederhana. Idenya mungkin semua capoerista, atau orang-orang yang menyukai capoeira, sudah tahu. Sudah umum. Tapi ijinkan saya menuliskannya lagi.

Sejujurnya meskipun lama absen dari roda, saya tidak pernah merasa jauh dari capoeira. Salah seorang guru saya pernah berkata bahwa “Kita tidak memilih capoeira, capoeira yang memilih kita”. Saya tidak tahu apakah saya memang terpilih, apakah saya dipilih oleh capoeira, atau apakah saya cuma ge-er. Tapi yang jelas saya tidak pernah merasa jauh dari capoeira. Bagaimana mau jauh? Setiap hari tetap kontak dengan capoeirista, minimal seminggu sekali selalu bertemu (yang dibicarakan? Tidak pernah jauh-jauh dari capoeira, baik itu kultur, sejarah, atau filosofinya). Yang paling ekstrim adalah mimpi berkali-kali dengan tema yang sama dan terbangun berkali-kali karena mendengar lagu Berimbau Chamou Voçé, yang oleh guru saya langsung dianggap sebagai panggilan dari capoeira untuk saya agar segera kembali. Mistis ya, iya memang… Saya juga agak serem sekaligus takjub kalau ingat.

Dari malam-malam penuh cerita dan diskusi itu, saya jadi sering berpikir sendiri. Saya rasa tidaklah berlebihan ketika kita mempelajari sesuatu dan berusaha memahami filosofinya, hal ini membantu kita lebih beretika ketika melakukannya sendiri. Capoeira juga sama. Mungkin bagi yang melihat, capoeira tidak lebih dari seni bela diri. Full body contact, mungkin. Sadis tendangannya. Maut akrobatiknya. Tapi buat saya, baik ketika menari ataupun bercapoeira, tidak pernah jauh-jauh dari proses healing dan pertumbuhan diri.

Di groupo saya, groupo kami, ada semboyan yang dipegang teguh: Energia, força, e sentimento.  Energi, kekuatan, dan perasaan. Begitu kira-kira arti literalnya. Awalnya saya cuma merasa keren secara penyampaiannya dengan bahasa Portugis. Tapi ternyata jauh lebih keren ketika tahu artinya. Ketika disampaikan bahwa energi, bermakna bahwa sebagai sesama capoerista harus menyebarkan energi positif sehingga kita bisa bermain jogo dengan gembira, bahagia, dan indah… saya hanya manggut-manggut dan bergumam “masuk akal…”. Ketika disampaikan bahwa kekuatan adalah untuk mendorong teman-teman kita yang belum berani untuk bercapoeira, masih takut atau malu, saya juga cuma manggut-manggut. Ketika diberitahu bahwa sentimento artinya perasaan, which means, bermain atau menolong sesama teman harus dengan hati, harus memahami kebisaan dan ketidakbisaan temanmu, saya juga cuma manggut-manggut. Sampai saya bercapoeira dan merasakan (plus menyaksikan) sendiri arti dari semboyan yang selalu disebut itu.

Saya menyadari bahwa energi dalam roda adalah sesuatu yang dijaga dengan baik, agar terus mengalir dan tidak berhenti (baca postingan-postingan sebelumnya). Kenapa energi positif ini penting untuk dimaintain? Tidak lain, tidak bukan adalah untuk menjaga ritme jogo dalam roda. Memang, ketika berjogo tidak menutup kemungkinan kita terkena tendangan, terpeleset, terbanting, nyusruk atau apapun. Tapi ketika kita merasakan energi yang positif dari teman atau saudara kita sesama capoerista yang berjogo dengan kita, kita lebih tidak akan merasa tersakiti. Entahlah, seperti bisa terasa bahwa jogo ini hanya upaya teman atau saudara kita itu untuk keep in touch, ingin lebih mengenal, sekaligus menunjukkan siapa dirinya. Mungkin kita belum kenal, atau mungkin kita harus ketahui.

Ketika aliran energy ini seolah terputus karena kita jatuh terlalu keras dan kita kaget atau marah, untuk itulah ada volta mundo (berjalan berlawanan jarum jam) untuk menetralisir perasaan, kembali ke boca de roda (mulut roda) bersama teman jogo, dan mulai bermain dari awal untuk kembali membangun mood. See? Dalam sebuah jogo saja, membahas energi saja, tidak bisa dipisahkan dengan kekuatan dan perasaan. Kekuatan untuk terus menerus mengasah kemampuan diri, untuk terus mendukung teman kita sendiri, dan perasaan untuk tetap menjadi positif dan bersahabat meski dalam bermain kita menggunakan kaki untuk saling menyapa (dan buntutnya, kita jadi sering menyapa lantai juga). Kita harus bisa tetap saling menjaga meskipun bermain jogo yang penuh aksi tendang menendang atau akrobatik kesana kemari. Menjaga diri sendiri, menjaga teman jogo kita. Kita tidak mau kan melukai atau menyakiti teman jogo kita? Dia saudara kita sendiri. Kecuali ada persoalan yang kalian ingin selesaikan di jogo maka itu lain lagi. Bukan wilayah kami untuk ikut campur.

Saling menjaga, lalu siapa yang menjaga kita berdua yang sedang berjogo? Nah, inilah yang mau saya bahas lebih dalam sesuai penangkapan saya sendiri. Mohon maaf jika salah, kurang, atau malah berlebihan, ini cuma hasil refleksi saya sendiri. Yang menjaga teman-teman yang sedang jogo, adalah mereka-mereka yang ada di sekeliling roda, ya teman-teman yang mengiringi jogo dengan lagu. Teman-teman yang bernyanyi (canta), teman-teman yang palma (bertepuk tangan), teman-teman yang coro (menyahuti nyanyian dari pemegang gunga di bateria). Energi dalam roda itu infinit. Energi itu diserap, dipantulkan, dan diserap lagi. Bingung ya, singkatnya energi yang jadi semangat teman-teman jogo, tidak lepas dari energi teman-teman yang menyanyikan lagu-lagu capoeira.

Apa sih gunanya kita menyanyi? Dulu sempat dibahas oleh para pengajar, bahwa secara logis saja, kalau lagunya tidak enak, apa kita mau goyang? Pasti malas. Jogo juga sama. Siapa yang bisa jogo dengan gusto, kalau lagunya ambyar, tidak jelas, yang lebih parah… jadi ambyar dan tidak jelas karena tidak tahu artinya. Pastilah semangat jadi turun, energi jadi low dan jogo jadi tidak seenak dan seindah harapan *wusss*

Bagi saya sendiri, dengan bernyanyi, kita turut menjaga teman-teman yang sedang jogo. Seringkali lagu-lagu yang dinyanyikan adalah lagu-lagu yang bisa membangun semangat, lagu yang menyenangkan, lagu yang bercerita tentang sejarah capoeria, bahkan tidak jarang lagu-lagu itu bermakna doa. Ya, bukankah baik ketika kita ikut bernyanyi kalau begitu? Kita membantu agar energi tiadk menurun, dan kita juga bernyanyi dengan tujuan menjaga teman yang sedang jogo. Itulah kenapa menyanyi juga penting dalam capoeira.

Kita saling jaga lah, teman yang sedang jogo sedang menjaga diri dan teman mainnya. Kita, yang belum jogo, pun ikut bertanggungjawab dalam semangat atau tidaknya suatu roda. Ya, ini seringkali bisa terlihat, ada roda yang menyenangkan dan ada yang tidak. Lagi-lagi, ini sebenarnya natural, seperti hidup.

Roda yang full axé adalah tanggungjawab semua yang terlibat di dalamnya. Para capoeirista yang sedang jogo, para capoeirista yang di sekeliling roda (yang bernyanyi dan bertepuk tangan), bahkan para pemegang bateria. Semua saling terkait dan tidak boleh ada yang hilang. Capoeira itu luta, tapi luta bricandeira. Bertarung memang, tapi bertarung yang fun. TIdak ada gasak-gasakan. Tidak ada dendam-dendaman. Jogo bonito (main cantik), meskipun bisa dibuat jogo duro (main keras).

Itu kenapa, sebelum kita berpikir atau ogah-ogahan untuk bernyanyi, bertepuk tangan, atau menyahuti nyanyian dari pemegang gunga, sadarilah dulu bahwa kita sedang berada dalam roda. Sadari bahwa kita ikut bertanggungjawab atas berlangsungnya energi dalam roda. Sadari bahwa dalam roda ini berarti kita semua punya peranan yang sama untuk menjaganya agar stay axé. Pikirkanlah, kita sendiri pun pasti lebih semangat menjalani hari-hari kita ketika ada yang mendukung apalagi mendoakan. Roda, sekali lagi, adalah miniatur kehidupan. Lagu-lagu itulah salah satu bentuk dukungan dan doa untuk teman-teman berjogo, dukungan dan doa untuk kita juga karena pasti tiba saatnya kita yang turun untuk jogo. Itu kenapa juga, saya berusaha menyemangati diri saya sendiri untuk memahami arti lagu-lagunya. Selain untuk belajar, saya rasa penting juga untuk tahu apa arti doa yang saya ucapkan, terlebih doa itu untuk orang lain.

Mungkin pemahaman saya masih sangat awam. Tapi saya pasti akan terus berproses. Mungkin saya tidak bisa lari secepat yang lain, tapi saya tidak berhenti. Dan saya akan terus menulis tentang capoeira… karena itu, saya sangat menantikan lagi malam-malam diskusi tentang capoeira ini dengan teman-teman dan guru saya, yang berhasil membuat saya jatuh cinta pada capoeira dan mengulik-ulik serta menselaraskan dengan pemahaman yang saya punya. Saya akan terus belajar. Salam energia, força, e sentimento.

“Capoeira pede paz ao som do meu Berimbau…” *canta*

Fruto da terra alimenta meu corpo

batata, milho, feijão a cacau

minha alma descansa em Deus

relaxa no som do meu berimbau*

A paz na terra amor

ai Meu Deus, que falta que faz

o homem entender o homem

uma lingua universal

pra que tanta demanda

porque tanto desigual

capoeira pede paz

ao som do meu berimbau

Canta moςa , eh…

canta rapaz

Capoeira pede paz

há muito tempo atrás

… Capoeira seeking for peace since very long time ago…

 I rest my soul in God, relaxing to the sound of my berimbau…

Mungkin sudah tidak perlu saya ulangi betapa saya jatuh cinta pada kesenian yang namanya disebut berulang-ulang dalam empat bait lagu berbahasa Portugis di atas. Tapi baiklah, saya ulangi saja. I fell in love with capoeira.

Kalau pada awalnya niat saya belajar capoeira erat kaitannya dengan menyalurkan agresi, ternyata apa yang saya dapat jauh lebih banyak dan lebih dalam daripada itu.  Mungkin ini salah satu alasan kenapa melakukan olahraga (terutama martial arts) masuk sebagai urutan pertama dalam tips mengatasi stress. Because you’ll find the root, as much as you’ll find your root.

Saya mungkin sempat lupa soal siapa diri saya sebenarnya. Eh, mungkin tidak lupa, tapi kembali tidak mengenali. Ada yang bilang setiap kehilangan atau setiap chaos dalam hidup kita menjadi awal momentum kita menemukan diri kita kembali. Itu karena kita ‘dipaksa’ untuk menjalani hari-hari di luar kebiasaan atau harapan masa lalu kita. Keluar dari zona nyaman itu sungguh tidak menyenangkan tapi sekaligus memancing rasa ingin tahu. Maka itu kita lalu terus berjalan, meskipun tidak tahu pasti apakah langkah yang kita pilih itu baik, atau apakah jalan baru kita ini benar. Mungkin karena kita punya iman, tapi sudahlah, bukan waktunya bicara iman.

Sama seperti keadaan chaos, keadaan di luar kebiasaan, pertama kali belajar capoeira saya sempat shock. Ya shock, ya kecil hati, ya takut… baru pertama kali masuk ruang kelasnya, yang saya lihat adalah beberapa anak laki-laki yang dengan serta merta bersalto ria, berdiri dengan tangan, menendang dengan kecepatan yang_bisa saya pastikan kalau kepala saya kena pasti saya tidak akan pernah bisa berbagi disini_luar biasa. Saya merasa kecut ketika membayangkan mungkin butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk bisa jumpalitan seperti itu, saya takut membayangkan jangan-jangan saya akan cedera. Tapi untuk tiba-tiba keluar dari kelas yang sudah dibuka oleh pengajarnya, rasanya tidak sopan. Jadi saya tetap tinggal di kelas itu, bersama-sama rasa takut yang saya punya. Tiba-tiba saya baru sadar kalau saya sama sekali tidak pernah ikut kelas beladiri apapun. Malah, saya lebih banyak dansa ballroom… mungkin sebenarnya tanpa sadar saya mencari homeostasis. Mungkin.

Hari pertama saya mungkin lebih sering terkesima. sebetulnya sama sekali saya tidak bermaksud untuk bengong, tapi apa daya… bagi saya, yang sama sekali belum pernah melihat secara langsung , apalagi jarak dekat, capoeira dan gerakan akrobatiknya ini sangat menciutkan nyali. Saya mustahil bisa.

Sudahlah darah rendah.

Hati galau.

Pikiran berkecamuk.

Itu aja sih.

Saya mustahil bisa.

Tapi gerakan akrobatik yang saya pelajari pertama namanya role (:dibaca hole, gerakannya mirip meroda tapi kaki tetap dibawah, diseret tipis-tipis di atas lantai). Saya diajari langsung sama gurunya karena murid-murid yang lain rata-rata sudah berproses selama lebih dari 3 bulan. Saya yang paling baru (dan dungu soal beladiri).

Step awal letakkan tangan di lantai, telapak tangan menempel sempurna ya, pelan-pelan geser kaki ke samping (kiri atau kanan tergantung), lalu setelah kaki melewati muka, kembali ke posisi kuda-kuda

rolekurang lebih begini step2nya role

Di step menjelang terakhir, saya terpeleset… hmmm, saya memang ada faktor bawaan keseimbangan yang agak buruk. Kalau lari pasti terjatuh, jalan biasa pasti nabrak, dan salah langkah sedikit bahkan pernah jatuh dengan kepala membentur lantai.

Ini, saya terpeleset di step terakhir. Step dimana seharusnya saya kembali ke kuda-kuda. Waktu terpeleset itulah, saya mengalami bullet-time. Gerakan (seolah-olah) melambat, tapi tolong jangan bayangkan The Matrix. Waktu saya terpeleset itu, saya sudah berpikir… mungkin minggu depan sebaiknya saya tidak datang lagi ke kelas ini. Mungkin sebaiknya jam segini saya pulang atau ikut kelas lain di gym ini (iya, saya kenal capoeira pertama dari gym). Mungkin saya memang jangan belajar beladiri…

Tapi ada yang menangkap dua tangan saya, sehingga saya tidak jadi jatuh, dan sekaligus membuyarkan bullet-time* yang saya alami. Dia guru saya. Orang pertama yang membuat saya lupa tujuan awal saya belajar capoeira.

Entahlah, tiba-tiba saya merasa_meskipun pusing habis role_aman. Tiba-tiba, dengan getaran yang aneh, saya merasa perlu untuk bisa melakukannya dengan baik dan benar. Bukan demi bisa pamer… tapi demi keselamatan saya. Pertama kalinya setelah mengalami chaos dan manipulasi emosi yang luar biasa, saya kembali memikirkan apa yang baik untuk saya… dan lupa semua keinginan saya yang tadinya untuk agresi dan obsesi apalah itu.

Terasa bedanya ketika kita mempelajari sesuatu itu karena marah, benci, atau obsesi yang tidak sehat… performa kita buruk karena kita gelisah dan takut tidak bisa melampaui apa yang kita obsesikan. Kita lupa bahwa berproses, dalam hal ini berolahraga ( baca: bercapoeira), adalah tentang bagaimana kita memanfaatkan potensi diri kita. Dan dalam memanfaatkan potensi diri kita, kita perlu terhubung, terkoneksi denga diri kita sendiri. Cara kita untuk lebih terkoneksi dengan diri kita bermacam-macam. Kalau untuk terkoneksi dengan orang lain bisa dengan mengobrol, curhat… dengan diri kita, kita juga bisa ‘ngobrol’. Untuk penggemar meditasi, pasti sudah tidak asing lagi, apalagi untuk penggemar refleksi (bukan pijat). Tapi untuk menjadi lebih terhubung dengan diri tidak bisa langsung ke tahap yang dalam, langsung ke perasaan atau pemaknaan (bisa sih, tapi untuk yang sudah terbiasa), dalam meditasi pun ada tahapannya. Tahap awalnya adalah pengenalan sensasi fisik. Apakah tubuh terasa tegang, lemas, panas, dingin, dll. Dan inilah yang saya kenali kembali lewat capoeira.

Dari sekian sensasi… fisiklah yang sering terabaikan. Saya sering sibuk di pikiran, terjebak sendiri di emosi-emosi yang negatif. Tanpa ada penyaluran yang sehat. Saya juga punya bawaan rentang konsentrasi yang pendek. Kata dosen saya, karena saya dulu skip merangkak. Di capoeira, saya dan teman-teman lainnya ‘dipaksa’ berjalan dengan empat kaki, maju mundur, begitu terus setiap latihan. Tapi lama-lama sepertinya ngefek juga… hehe, alhamdulillah, sekarang nggak terlalu sering bengong terdistraksi. Banyak gerakan yang melibatkan kepala di bawah, bertumpu dengan tangan, menendang tetapi ditahan, sedikit banyak memberi wawasan tentang bagian tubuh mana yang kuat, mana yang lemah, mana yang sudah luwes, mana yang masih perlu banyak dilatih. Semakin saya tahu, semakin saya merasa perlu belajar lebih banyak tentang capoeira. Mungkin ini yang membedakan kelas ini dengan yang lain, mungkin kelas lain berisi orang-orang pencari keringat untuk pembentukan. Tapi di sini, masing-masing orang berproses sesuai temponya sendiri-sendiri. Masing-masing berusaha mengenali potensinya, dan semakin mengenali, semakin menyukai diri, juga semakin mencintai capoeira.

Ketika saya belajar karena saya ingin terus merasa terkoneksi baik dengan diri sendiri maupun orang lain, saya tidak lagi merasa takut atau cemas, tapi lebih merasa senang dan jauh dari kekerasan. Bukan, capoeira ternyata bukan alat kekerasan, tapi lebih ke kesenian. Pelajaran soal kehidupan. Karena itu dalam bercapoeira juga ada musik dan lagu-lagu yang kalau diartikan punya makna yang positif soal bercapoeira dan kehidupan.

Semakin menemukan flownya, semakin masuk ke dalam penghayatannya, semakin paham bahwa sakit atau jatuh adalah proses yang alami. Tidak ada yang bermaksud melukai, semuanya berusaha bersinergi. Dan energi yang dihasilkan dari bercapoeira bersama dalam sebuah roda, kami sebut axé, semakin memancar secara positif, semakin membangun semangat untuk bercapoeira dengan baik. Terus berputar begitu menjadi infinit.

Dengan iringan suara berimbau, saya bercapoeira bersama teman-teman, bersama keluarga saya. Dan tidak ada perasaan saling ingin melukai atau membenci.

Capoeira pede paz há muito tempo atrás

Capoeira seeking for peace since long time ago!

berimbau  berimbau

*bullet-time: sebuah keadaan dimana suatu situasi serasa berhenti atau bergerak dalam kecepatan super duper lambat. Banyak yang bilang ini dipengaruhi rasa takut kita akan kehilangan suatu momen atau kesempatan.

Vai ginga!

“Vai ginga!”

Saya tidak bisa melupakan kata yang sebenarnya sudah sangat akrab, melekat di otak, masuk lewat telinga ini. Sudah hampir dua tahun saya mendengarnya sejak saya bergabung di suatu komunitas capoeira yang ada di Surabaya.

Ginga… dibaca ‘jingga’, adalah sebutan untuk step dasar di capoeira, turunan dari kuda-kudanya primeira base dan sequnda baseGinga memiliki gerakan melangkah ke kanan sebelum meletakkan kaki kiri ke belakang, kemudian ke kiri sebelum meletakkan kaki kanan ke belakang. Gerakan ini dilakukan seirama dengan toque atau irama dari alat musik khas Brazil yaitu Berimbau.

Bukan, saya bukan mau membeberkan detil-detil bercapoeira disini, mungkin lain kali saya jelaskan bagaimana kultur dari Brazil ini membuat saya jatuh cinta.

Motivasi saya untuk mulai bercapoeira sebenarnya tidak bisa dikatakan terpuji. Saya hanya ingin menuntaskan obsesi, kemarahan, kesakitan yang dua tahun lalu saya rasa. Tidak apa-apa kalau mungkin saya disebut pendendam. Saat itu saya memang marah luar biasa pada seseorang yang pernah bercapoeira (meskipun saya tidak tahu berapa lama dan sebaik apa ia bercapoeira), yang ada di benak saya hanyalah ingin menang. Menang dari apa, saya waktu itu tidak tahu, dan tidak peduli. Tapi sekarang pikiran saya sudah jauh dari itu.

Dalam capoeira, kita mengaplikasikan segala yang kita pelajari dalam roda (:hoda, artinya lingkaran) diiringi lagu-lagu capoeira yang semuanya dalam bahasa Portugis, dan sebagian besar tentang makna hidup atau tentang capoeira itu sendiri.

Dalam roda, percaya atau tidak, sedikit-sedikit karakter orang bisa terlihat. Tapi tulisan ini bukan soal orang-orang atau teman-teman yang saya amati. Nanti lah itu.

Roda adalah miniminiatur perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana kita mengincar, menghindar, atau mengejar, atau malah diam… (entah menunggu entah benar-benar blank)… semuanya merupakan respon-respon dalam bentuk kasar, yang tentu saja ketika kita menjalani kehidupan sehari-hari akan terlihat versi turunan-turunannya.

Karena roda adalah miniminiatur perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari, situasi atau irama yang ada di dalam roda ketika kita berjogo (one on one bercapoeira), pun bisa saya katakan mirip dengan apa yang bisa kita hadapi sehari-hari. Lawan bisa seperti hambatan yang kita temui, entah ia membuat kita terjatuh, membuat kita cedera, atau malah membuat kita mengembangkan banyak ide untuk menghindar atau memanfaatkan serangan-serangannya. Saya? Percayalah, saya masih sering kena tendang atau jatuh, entah jatuh karena tidak sempat menghindar atau karena terpeleset sendiri. Tapi roda tidak akan bubar hanya karena kita jatuh. Sama seperti hidup yang tidak berhenti ketika kita menemui suatu hambatan. Hidup terus berjalan. Roda terus hidup. Irama bisa berubah. Lagu bisa tiba-tiba pelan, atau tempo tiba-tiba bertambah cepat.

Roda menjadi tanggungjawab semua yang terlibat di dalamnya, termasuk kita, untuk tetap hidup dan berjalan. Kita harus tetap menjaga flow permainan, kita tidak boleh berhenti dan mematahkan semangat dari permainan itu.

Sama seperti hidup, kita pun bertanggungjawab untuk terus berjalan menuju tujuan kita masing-masing.

Tentu kita pernah lelah, pernah ingin menangis, pernah sakit dan merasa tidak mungkin lagi melanjutkannya.

Dalam roda ada waktu-waktu dimana kita mungkin tersungkur dan cedera. Tapi kita tidak berhenti meneruskan energi yang sifatnya infinit. Apa yang kita berikan dalam roda, itu pula yang akan kita dapat dan tercermin dari permainan kita. Bahagiakah kita? Marahkah kita? Apakah kita ingin melukai? Atau sebaliknya, ingin bersinergi dengan lawan agar keseluruhan permainan mengalir dengan indah dan malah menimbulkan semangat?

Kita tidak lantas ngambek ketika lawan lebih jago, kita tidak lantas berhenti.

Back to basic, do ginga.

“Vai ginga!”

Tetaplah bergerak, beberapa langkah sudah cukup memberi kesempatan untuk jeda dan memikirkan langkah apa yang ingin dilakukan selanjutnya agar roda tidak mati. Hendak menyerangkah? Hendak bercanda sejenak dengan gerakan-gerakan acrobacias (bagi yang ahli)? Atau hendak balanço (:balanso) untuk kembali ke ritme dan meluweskan tubuh? Semua pilihan adalah mungkin dan semuanya tergantung kita.

Sama ketika kita menghadapi permasalahan dalam hidup, kita tidak bisa menyelesaikannya ketika kita berada di layer kesadaran yang sama ketika permasalahan itu datang (kata Albert Einstein). Lantas bagaimana untuk membuka layer kesadaran yang lebih tinggi atau lebih luas? Yang pasti tidak dengan berhenti. Lakukan sesuatu, bahkan dalam diammu.

Berkembanglah, putar otak, ubah sudut pandang. Seperti ketika kita menghindari sebuah tendangan, kita bisa menghindar ke bawah dan segera counter attack, atau kita bisa menghindar dan mengambil jarak sedikit untuk counter attack yang lebih mengena. Segala dalam hidup adalah pantulan dari apa yang kita berikan. Permainan dalam roda pun adalah sebuah percakapan. Sebuah tanya jawab antar pemain. Kita tidak bisa bertanya terus, atau menjawab terus. Kita tidak bisa terus berlari dalam kehidupan, kita pun perlu mendengar kemana semesta menuntun kita, melihat pada pilihan-pilihan yang tersedia. Bahkan menciptakan pilihan jika perlu. Kita tidak berhenti.

Hidup itu tidak mudah, tapi hari demi hari tanpa kita sadari, sebenarnya kita terus berubah. Tentunya menjadi lebih baik, walaupun dalam jalan yang kita tempuh belum terlihat dimana letak kebaikan itu. Jangan berhenti. Jangan terdiam dan terpuruk jatuh terlalu lama.

Teruslah melangkah, teruslah bergerak.

Vai ginga!